Ramadan di Jalan

Hari ini begitu mendung, tapi apalah daya, sekalipun hujan turun, saya harus menerjangnya. Perjalanan Indramayu-Jakarta bersepeda motor bukan hal baru bagi saya, setidaknya dalam kurun dua tahun terakhir saya sudah mengulanginya beberapa kali, sudah jadi rutinitas malah. Hari ini saya harus berangkat ke Jakarta, sebab besok pagi sudah harus kuliah dan ada beberapa agenda yang harus dibereskan.

Saya merencanakan berangkat jam 10 pagi, tetapi ternyata gerimis menderas, akhirnya perjalanan tertunda mau-tak-mau menunggu hujan agak reda. Saya sudah mempersiapkan semua barang bawaan saya aman dari serbuan air hujan, antisipasi seandainya nanti di tengah jalan hujan menderas tiba-tiba.

Sekitar pukul sebelas, hujan mereda, tapi mendung masih belum juga sirna. Nampaknya mendung hari ini memang menyeluruh. Saya putuskan untuk tetap berangkat. Tak selang jauh sepeda motor saya terkayuh, gerimis mulai turun lagi, tak selang lama juga, hujan mulai kembali. Saya menepi untuk mengenakan jas hujan yang sudah saya siapkan.

Ternyata mendungnya memang betul betul menyeluruh, langit di segala penjuru yang tersapu pandangan saya, gelap, seperti tidak ada tanda-tanda hujan akan reda. Saya terabas hujan yang lumayan deras dan sengaja tidak menepi. Selain karena jas hujannya lumayan tebal, saya rasa menepi untuk menunggu hujan reda juga bukan keputusan yang tepat di saat mendung menyeluruh seperti ini. Hujannya bakal awet. Cara satu-satunya adalah terus berjalan berharap ada cahaya matahari di arah barat sana.

Dan ternyata memang benar, sampai di perbatasan Subang-Karawang langit berangsur mulai terang. Tapi saya belum terlalu berbangga, sebab rintik gerimis masih terasa. Baru setelah memastikan bahwa mendung benar-benar sudah tak ada, saya lepas jas hujannya. Buff dan sepatu saya basah kuyup, untung tadi sarung tangan sempat saya lepas, jadi di saat kedinginan kaya gini, sarung tangan masih kering dan lumayan bisa menghangatkan tangan yang mulai keriput diguyur air hujan.

Sepanjang Karawang-Bekasi, berangsur-angsur sepatu dan buff saya yang basah kuyup itu mengering kena angin dan panas matahari. Hahaha, dari kering, basah sampai kering lagi.

Jarak tempuh Indramayu-Jakarta sudah sangat cukup buat disebut safar atau perjalanan yang mendapat rukhsoh (keringanan) untuk membatalkan puasa dalam prinsip hukum fiqh. Akan tetapi, saya memaknai keringanan untuk membatalkan puasa dalam perjalanan ini sedikit berbeda, selagi masih bisa menahan haus dan lapar selama perjalanan, ya saya tidak perlu mengambil keringanan tersebut.

Kalau memang sudah benar-benar tidak lagi kuat untuk puasa ketika dalam perjalanan, baru saya memanfaatkan rukhsoh ini dengan baik, dan membayar hutang puasa tersebut setelah lebaran nanti. Berpuasa di perjalanan adalah tantangan. Tentu saja selagi itu tidak membahayakan diri sendiri dalam menjalaninya.

 


Ini adalah tulisan ketiga yang saya tulis selama bulan Ramadan, dalam rangka merayakan program #1hari1post di #RamadhanMalhikdua.


 

This entry was posted in Sepercik and tagged , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

4 Responses to Ramadan di Jalan

  1. Novi says:

    Harusnya musafir ga usah puasa. Cukup ngasih makanan kepada orang berbuka. Pahala nya sama.

    Enak kan?

    :p

  2. buron says:

    Wah disini malah cerah hari ini. Tapi tetep dingin sih udah masuk winter.
    Anyway, jaga kesehatan take care of urself 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *